KEBUDAYAAN
DI NGANJUK DAN DAERAH SEKITARNYA
Nganjuk memiliki berbagai budaya yang
beragam. Pada zaman dulu sangat kental dalam pengamalannya. Walaupun pada saat
ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, tapi masih juga masih banyak juga
yang melestarikannya, tidak hilang begitu saja. Karena di Kabupaten Nganjuk
masih banyak tokoh-tokoh budaya yang siap menjaga kebudayaan bersama para
penerus mereka. Makanan khas,
tarian daerah, dan upacara adat masih dilestarikan. Biasanya di desa-desa atau
kecamatan tertentu. Sebenarnya hasil karya kita sendiri tidak kalah dengan
hasil dari luar negeri. Buktinya banyak orang-orang yang merantau ke luar kota
atau ke luar jawa kangen dengan keragaman budaya daerah mereka. Mereka rindu
dengan kekhasan bumbu masakan asli Nganjuk yang beda dengan yang lain. Tetapi antusias anak-anak muda
sekarang sudah tidak peduli hal itu, mereka hanya mengikuti mode saja. Bahkan
ketertarikan mereka terhadap budaya kalah dengan para pengunjung dari daerah
lain. Mereka tidak sadar betapa indahnya budaya-budaya Nganjuk. Selain itu ada
faktor yang menjadikan orang tua enggan membiarkan anak mereka ikut terjun
dalam pelestarian budaya karena tidak sesuainya dengan nilai agama.
Banyak kesenian-kesenian Kabupaten
Nganjuk diantaranya:
1.
Tari Tayub
Di Kabupaten
Nganjuk terletak sebuah padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian
tayub, yang lebih jelasnya berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom,
Kabupaten Nganjuk. Desa Ngrajek,
Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur merupakan daerah pedesaan
yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang teguh adat
istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat mencintai
kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa seni yang sangat
kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah dengan orang lain.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali bersifat individualis,
bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali siapa yang menjadi
tetangganya. Setiap harinya
para warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga
desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk.
Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa
tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau
bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa
lain bahkan dari kota lain dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan
acara wisuda para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di Kabupaten
Nganjuk. Tari Tayub atau
acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur
keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa
Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari
yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari
Jawa Tengah. Tarian ini biasa
digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala
desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri
dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub
bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria).
Kesenian tayub merupakan seni tari yang mempertontonkan lekak-lekuk tubuh
penarinya. Bagi para gadis yang ingin menjadi waranggono, mereka harus melewati
beberapa syarat dahulu sebelum mereka diwisuda. Barlah setelah di wisuda mereka
akan mendapatkan surat izin untuk menjadi seorang waranggono.
2.
Wayang Timplong
Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari
daerah Nganjuk, Jawa Timur. Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak
tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, Provinsi Jawa
Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus.
Instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring, juga sangat
sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk
kenong, kempul dan kendang.
3.
Tari mung dhe
Tari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal
dari Desa Garu, Kecamatan Baron, Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan
kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme. Selain itu tari ini
berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot
Prawirodirdjo). Dalam tari ini
menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan
orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang
latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada
dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.
Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang
lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli,
karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain
dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
Ø 2 orang berperan sebagi penari /prajurit.
Ø 2 orang berperan sebagi pembawa bendera.
Ø 2 orang berperan sebagai botoh
Ø 8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12
orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari
Mung Dhe untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan
usia dewasa [baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang
ini, tari Mung Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan
Duta Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara
Wisuda (gembyangan-red) Waranggono.
4.
Jaranan
Seni Jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya
pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi
2 yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan
sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
5.
Makanan Khas Kabupaten Nganjuk
a. Nasi becek.
Yaitu sejenis gulai kambing yang
memiliki rasa khas dengan penambahan irisan daun jeruk nipis.
b. Dumbleg
Dumbleg adalah
jajanan tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Tepatnya di daerah Kecamatan Gondang
dan sekitarnya. Makanan yang unik ini memang mirip pudak (makanan khas
Gresik) tapi yang membuat berbeda adalah rasa dan tampilannya. Rasa dumbleg ini
manis legit dan bentuknya panjang kayak lontong. Jajanan ini yang terbuat dari
tepung beras, gula jawa, dan santan yang dibungkus dari pelepah jambe. Makanan ini hanya ada pada hari-hari
tertentu di Pasar Gondang (tiap Pasaran Pon) dan
Pasar Rejoso (tiap pasaran kliwon).
c. Onde-onde
Njeblos
Yaitu semacam onde-onde tapi tidak
berisi. Berbentuk seperti bola yang ditaburi wijen.
d. Nasi Pecel
Yaitu semacam nasi yang ada sayurnya
(kulup) ditaburi dengan pedasnya sambal pecel, ciri khas asli Nganjuk sangat
pedas dan rempeyek yang renyah.
e. Nasi Sambal
Tumpang
Yaitu semacam sambal yang dibuat dari
tempe dilumatkan dengan bumbu dan rasanya gurih dan pedas.
f. Krupuk Upil
Yaitu krupuk yang digoreng tanpa minyak
tetapi menggunakan pasir.
6.
Upacara Tradisional Nyadran
Warga masyarakat
Dusun Kemlokolegi termasuk salah satu diantara Dusun dan Desa yang ada di
wilayah Kabupaten Nganjuk yang sampai sekarang masih melestarikan upacara
tradisional Nyadran. Di beberapa daerah ada yang menyebut Sadran. Tradisi ini
sudah berlangsung ratusan tahun yang silam sampai sekarang. Kata Nyadran maupun Sadran keduanya
berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra yang kemudian karena perjalanan
zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau Sadran. Kata Sadran mempunyai arti
ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa sejak zaman Hindu-budha di negeri
ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir semua warga masyarakat ikut
melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan agama yang dianutnya. Bagi
warga masyarakat dusun Kemlokolegi, tradisi Nyadran diselenggarakan mengambil
hari jumat Pahing atau Jumat Legi, pada bulan-bulan usai masa panen padi. baru
akhir-akhir ini dijatuhkan pada bulan April, hal ini dikandung maksud di
samping telah usai masa panen padi juga sekaligus ikut merayakan hari jadi Kota
Nganjuk.
Mengawali rangkaian upacara tradisi Nyadran, dimulai
dengan selamatan di makam Eyang Kunci yang memang cikal bakal leluhur dan orang
pertama di Desa Kemlokolegi. Selamatan berlangsung sebelum matahari terbit,
kemudian dilanjukan selamatan di makam "Sana Pralaya II" yaitu sebuah
makam umum warga masyarakat Dusun kemlokolegi sementara "Sana Pralaya
I" , tiada bekas dan sudah menjadi perumahan warga. Masih dalam rangkaian
upacara tradisi Nyadran, sebagai puncak acara warga masyarakat selamatan di
rumah Lurah atau Kepala Desa istilah sekarang atau di Balai Desa di masa
sekarang.berduyun-duyun warga mengusung jolen, di mana keberangkatan dari
rumah-rumah warga dibarengi iring-iringan kesenian tradisional menuju rumah
Lurah atau Balai Desa di jaman sekarang. Kata Jolen berasal dari kata Joli atau
Joli Kencana yaitu sebuah tandu untuk mengusung Raja atau Putra Raja pada waktu
hendak anjangsana ke daerah pedesaan. Joli kencana diusung atau dipikul oleh
empat orang abdi dalem. Demikian juga Jolen sebagai wadah atau tempat
persembahan berupa ambeng dan aneka macam hasil bumi mulai dari pala kependem,
pala gemantung, maupun pala kesimpar. Persembahan dimaksudkan sebagai bentuk
perwujudan bulu bekti warga atau loyalitas warga kepada Lurah sebagai
"pangarsa praja". Jolen dipikul olehempat orang warga layaknya abdi
dalem mengusung Raja. Pernak-pernik hiasan mewarnai Jolen sesuai kreativitas
warga, meskipun dimasa sekarang terasa kering dan mandul. Tradisi jolen bagi
warga masyarakat kemlokolegi sudah berlangsung ratusan tahun yang silam,
semenjak adanya pemerintahan desa pertama, semasa Eyang Sinagadangsa ditunjuk
oleh Wedana Kertasana sebagai Lurah Desa Kemlokolegi.Eyang Singadangsa adalah
putra ketiga Eyang Kunci dari tujuh bersaudara. Waktu itu Desa Kemlokolegi baru
terdiri dari tiga pedukuhan yaitu kemlokolegi, blimbing, dan Panggangrambak.
Ketiga pedukuhan berada di sebelah utara jalan desa sekarang sedangkan di
sebelah selatan jalan masih berupa "alas brendilan". Khusun pedukuhan
Kemlokolegi, waktu itu baru dihuni oleh ketujuh putra Eyang kunci berjajar dari
timur ke barat menghadap ke selatan.
Keberadaan Jolen bukan sekedar "simbol
etika" akan tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam, di mana
disampaikan oleh simbah buyut atau bapa biyung lewat "kekudangan".
Hampir setiap malam kekudangan disampaikan waktu menjelang tidur atau pada
waktu tiduran di halaman rumah beralaskan tikae waktu bulan purnama. Memang
diantara "kekudangan" dan "dongeng" disamping memiliki
kesamaan waktu penyampaian juga kesamaan tujuan yaitu memberi
"piwulang" hidup yang baik dalam menatap kehidupan hari ini dan
menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. Perbedaan terletak pada metode
penyampaian, dimana kekudangan disampaikan langsung atau "verbal"
sehingga tidak menutup kemungkinan terkesan membosankan bagi anak cucu. Berbeda
dengan dongeng dimana disampaikan dengan mengandung unsur hiburan lewat
tetembangan, dialog, dengan warna suara yang berbeda. "Nilai Luhur" terselubung
lewat tokoh-tokoh cerita dan memiliki alur ceritera yang sudah mapan.
Salah satu kekudangan diantaranya yang berkaitan
dengan adanya Jolen, waktu itu disampaikan : Lurah diidentikkan dengan Raja
atau Presiden untuk masa sekarang. Untuk itu kepada anak cucu ditanamkan,
"wajib untuk selalu taat, patuh, dan ngabekti atau loyal kepada
Lurah". Tanpa harus memandang siapa yang menjadi Lurah. Juga disampaikan
manakala kelak telah dewasa dan "ambyur" bermasyarakat jangan sampai "mbalela"
mengkang pranatan Lurah. Bahkan disampaikan, dan untuk masa sekarang mungkin
dianggap semacam intimidasi, "siapa yang "mbalela" mengkang
pranatan lurah tidak akan bisa "mulya" hidupnya bahkan akan hidup
sengsara di kemudian hari. Kekudangan yang erat hubungannya dengan keberadaan
Jolen ini sampai sekarang dipegang teguh oleh anak cucu warga masyarakat
terutama "trah" dari Eyang kunci. Dari dulu sampai sekarang bila
ditelusuri belum pernah terjadi anak cucu mbalela mengkang pranatan. Kalau toh
pernah terjadi dapat dipastikan oleh warga atau orang-orang diluar garis.
Pemikiran para leluhur desa lewat kekudangan waktu itu
sepertinya telah berpijak pada "tembang-tembang pedesaan" atau buku
Nagara Kertagama karya Empu Prapanca semasa kerajaan Majapahit yang telah
mempersatukan bumi nusantara. kesamaan dalam upacara Nyadran sebagaimana
tertulis dalam Wirama 65, Jagaddhita Bait 257, yang menguraikan tentang Srada
(Nyadran) ;
sang ari natha ri wengkerspeneda wawan yasa pethani
tadhah niradhika.
sarwendah racananya mulya madulur dhana witarana
wartta ring sabha. Artinya : baginda Raja Wengker mempersembahkan santapan
utama dengan tempat berbentuk tiruan rumah yang indah. Beraneka ragam hiasan
yang indah dilengkapi barang-barang yang dibagi-bagikan sebagai pemberian di
balai pertemuan.