Blue Fire Pointer

search with my blog

Jumat, 08 Mei 2015

KEBUDAYAAN DI NGANJUK DAN DAERAH SEKITARNYA


KEBUDAYAAN DI NGANJUK DAN DAERAH SEKITARNYA

Nganjuk memiliki berbagai budaya yang beragam. Pada zaman dulu sangat kental dalam pengamalannya. Walaupun pada saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, tapi masih juga masih banyak juga yang melestarikannya, tidak hilang begitu saja. Karena di Kabupaten Nganjuk masih banyak tokoh-tokoh budaya yang siap menjaga kebudayaan bersama para penerus mereka. Makanan khas, tarian daerah, dan upacara adat masih dilestarikan. Biasanya di desa-desa atau kecamatan tertentu. Sebenarnya hasil karya kita sendiri tidak kalah dengan hasil dari luar negeri. Buktinya banyak orang-orang yang merantau ke luar kota atau ke luar jawa kangen dengan keragaman budaya daerah mereka. Mereka rindu dengan kekhasan bumbu masakan asli Nganjuk yang beda dengan yang lain. Tetapi antusias anak-anak muda sekarang sudah tidak peduli hal itu, mereka hanya mengikuti mode saja. Bahkan ketertarikan mereka terhadap budaya kalah dengan para pengunjung dari daerah lain. Mereka tidak sadar betapa indahnya budaya-budaya Nganjuk. Selain itu ada faktor yang menjadikan orang tua enggan membiarkan anak mereka ikut terjun dalam pelestarian budaya karena tidak sesuainya dengan nilai agama.
Banyak kesenian-kesenian Kabupaten Nganjuk diantaranya:
1.        Tari Tayub
Di Kabupaten Nganjuk terletak sebuah padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian tayub, yang lebih jelasnya berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur merupakan daerah pedesaan yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang teguh adat istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat mencintai kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa seni yang sangat kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah dengan orang lain. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali bersifat individualis, bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali siapa yang menjadi tetangganya. Setiap harinya para warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk. Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan dari kota lain dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di Kabupaten Nganjuk. Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah. Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria). Kesenian tayub merupakan seni tari yang mempertontonkan lekak-lekuk tubuh penarinya. Bagi para gadis yang ingin menjadi waranggono, mereka harus melewati beberapa syarat dahulu sebelum mereka diwisuda. Barlah setelah di wisuda mereka akan mendapatkan surat izin untuk menjadi seorang waranggono.

2.        Wayang Timplong
Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk, Jawa Timur. Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, Provinsi Jawa Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring, juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang.

3.        Tari mung dhe
Tari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal dari Desa Garu, Kecamatan Baron, Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme. Selain itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo). Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
Ø 2 orang berperan sebagi penari /prajurit.
Ø 2 orang berperan sebagi pembawa bendera.
Ø 2 orang berperan sebagai botoh
Ø 8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan usia dewasa [baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda (gembyangan-red) Waranggono. 

4.        Jaranan

 Seni Jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.

5.        Makanan Khas Kabupaten Nganjuk
a. Nasi becek.
Yaitu sejenis gulai kambing yang memiliki rasa khas dengan penambahan irisan daun jeruk nipis.
b. Dumbleg
Dumbleg adalah jajanan tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Tepatnya di daerah Kecamatan Gondang dan sekitarnya. Makanan yang unik ini memang mirip pudak  (makanan khas Gresik) tapi yang membuat berbeda adalah rasa dan tampilannya. Rasa dumbleg ini manis legit dan bentuknya panjang kayak lontong. Jajanan ini   yang terbuat dari tepung beras, gula jawa, dan santan yang dibungkus dari pelepah  jambe. Makanan ini hanya ada pada hari-hari tertentu di Pasar Gondang (tiap Pasaran Pon) dan Pasar Rejoso (tiap pasaran kliwon).
c. Onde-onde Njeblos
Yaitu semacam onde-onde tapi tidak berisi. Berbentuk seperti bola yang ditaburi wijen.
d. Nasi Pecel
Yaitu semacam nasi yang ada sayurnya (kulup) ditaburi dengan pedasnya sambal pecel, ciri khas asli Nganjuk sangat pedas dan rempeyek yang renyah.
e. Nasi Sambal Tumpang
Yaitu semacam sambal yang dibuat dari tempe dilumatkan dengan bumbu dan rasanya gurih dan pedas.
f. Krupuk Upil

Yaitu krupuk yang digoreng tanpa minyak tetapi menggunakan pasir.

6.        Upacara Tradisional Nyadran
Warga masyarakat Dusun Kemlokolegi termasuk salah satu diantara Dusun dan Desa yang ada di wilayah Kabupaten Nganjuk yang sampai sekarang masih melestarikan upacara tradisional Nyadran. Di beberapa daerah ada yang menyebut Sadran. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun yang silam sampai sekarang. Kata Nyadran maupun Sadran keduanya berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra yang kemudian karena perjalanan zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau Sadran. Kata Sadran mempunyai arti ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa sejak zaman Hindu-budha di negeri ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir semua warga masyarakat ikut melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan agama yang dianutnya. Bagi warga masyarakat dusun Kemlokolegi, tradisi Nyadran diselenggarakan mengambil hari jumat Pahing atau Jumat Legi, pada bulan-bulan usai masa panen padi. baru akhir-akhir ini dijatuhkan pada bulan April, hal ini dikandung maksud di samping telah usai masa panen padi juga sekaligus ikut merayakan hari jadi Kota Nganjuk.
Mengawali rangkaian upacara tradisi Nyadran, dimulai dengan selamatan di makam Eyang Kunci yang memang cikal bakal leluhur dan orang pertama di Desa Kemlokolegi. Selamatan berlangsung sebelum matahari terbit, kemudian dilanjukan selamatan di makam "Sana Pralaya II" yaitu sebuah makam umum warga masyarakat Dusun kemlokolegi sementara "Sana Pralaya I" , tiada bekas dan sudah menjadi perumahan warga. Masih dalam rangkaian upacara tradisi Nyadran, sebagai puncak acara warga masyarakat selamatan di rumah Lurah atau Kepala Desa istilah sekarang atau di Balai Desa di masa sekarang.berduyun-duyun warga mengusung jolen, di mana keberangkatan dari rumah-rumah warga dibarengi iring-iringan kesenian tradisional menuju rumah Lurah atau Balai Desa di jaman sekarang. Kata Jolen berasal dari kata Joli atau Joli Kencana yaitu sebuah tandu untuk mengusung Raja atau Putra Raja pada waktu hendak anjangsana ke daerah pedesaan. Joli kencana diusung atau dipikul oleh empat orang abdi dalem. Demikian juga Jolen sebagai wadah atau tempat persembahan berupa ambeng dan aneka macam hasil bumi mulai dari pala kependem, pala gemantung, maupun pala kesimpar. Persembahan dimaksudkan sebagai bentuk perwujudan bulu bekti warga atau loyalitas warga kepada Lurah sebagai "pangarsa praja". Jolen dipikul olehempat orang warga layaknya abdi dalem mengusung Raja. Pernak-pernik hiasan mewarnai Jolen sesuai kreativitas warga, meskipun dimasa sekarang terasa kering dan mandul. Tradisi jolen bagi warga masyarakat kemlokolegi sudah berlangsung ratusan tahun yang silam, semenjak adanya pemerintahan desa pertama, semasa Eyang Sinagadangsa ditunjuk oleh Wedana Kertasana sebagai Lurah Desa Kemlokolegi.Eyang Singadangsa adalah putra ketiga Eyang Kunci dari tujuh bersaudara. Waktu itu Desa Kemlokolegi baru terdiri dari tiga pedukuhan yaitu kemlokolegi, blimbing, dan Panggangrambak. Ketiga pedukuhan berada di sebelah utara jalan desa sekarang sedangkan di sebelah selatan jalan masih berupa "alas brendilan". Khusun pedukuhan Kemlokolegi, waktu itu baru dihuni oleh ketujuh putra Eyang kunci berjajar dari timur ke barat menghadap ke selatan.
Keberadaan Jolen bukan sekedar "simbol etika" akan tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam, di mana disampaikan oleh simbah buyut atau bapa biyung lewat "kekudangan". Hampir setiap malam kekudangan disampaikan waktu menjelang tidur atau pada waktu tiduran di halaman rumah beralaskan tikae waktu bulan purnama. Memang diantara "kekudangan" dan "dongeng" disamping memiliki kesamaan waktu penyampaian juga kesamaan tujuan yaitu memberi "piwulang" hidup yang baik dalam menatap kehidupan hari ini dan menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. Perbedaan terletak pada metode penyampaian, dimana kekudangan disampaikan langsung atau "verbal" sehingga tidak menutup kemungkinan terkesan membosankan bagi anak cucu. Berbeda dengan dongeng dimana disampaikan dengan mengandung unsur hiburan lewat tetembangan, dialog, dengan warna suara yang berbeda. "Nilai Luhur" terselubung lewat tokoh-tokoh cerita dan memiliki alur ceritera yang sudah mapan.
Salah satu kekudangan diantaranya yang berkaitan dengan adanya Jolen, waktu itu disampaikan : Lurah diidentikkan dengan Raja atau Presiden untuk masa sekarang. Untuk itu kepada anak cucu ditanamkan, "wajib untuk selalu taat, patuh, dan ngabekti atau loyal kepada Lurah". Tanpa harus memandang siapa yang menjadi Lurah. Juga disampaikan manakala kelak telah dewasa dan "ambyur" bermasyarakat jangan sampai "mbalela" mengkang pranatan Lurah. Bahkan disampaikan, dan untuk masa sekarang mungkin dianggap semacam intimidasi, "siapa yang "mbalela" mengkang pranatan lurah tidak akan bisa "mulya" hidupnya bahkan akan hidup sengsara di kemudian hari. Kekudangan yang erat hubungannya dengan keberadaan Jolen ini sampai sekarang dipegang teguh oleh anak cucu warga masyarakat terutama "trah" dari Eyang kunci. Dari dulu sampai sekarang bila ditelusuri belum pernah terjadi anak cucu mbalela mengkang pranatan. Kalau toh pernah terjadi dapat dipastikan oleh warga atau orang-orang diluar garis.
Pemikiran para leluhur desa lewat kekudangan waktu itu sepertinya telah berpijak pada "tembang-tembang pedesaan" atau buku Nagara Kertagama karya Empu Prapanca semasa kerajaan Majapahit yang telah mempersatukan bumi nusantara. kesamaan dalam upacara Nyadran sebagaimana tertulis dalam Wirama 65, Jagaddhita Bait 257, yang menguraikan tentang Srada (Nyadran) ;
sang ari natha ri wengkerspeneda wawan yasa pethani tadhah niradhika.
sarwendah racananya mulya madulur dhana witarana wartta ring sabha. Artinya : baginda Raja Wengker mempersembahkan santapan utama dengan tempat berbentuk tiruan rumah yang indah. Beraneka ragam hiasan yang indah dilengkapi barang-barang yang dibagi-bagikan sebagai pemberian di balai pertemuan.

















1 komentar: